Buku ini cocok bagi budayawan dan seniman yang ingin mengoleksi pustaka pribadinya. Buku ini sangat langka, mungik sama langkanya dengan populasi suku Melayu. Berikut ulasan saya untuk anda.
Dalam buku ini, penulis banyak menyertakan dokumentasi gambar ornamen Melayu klasik. Jika diperhatikan, ornamen Melayu yang diekspresikan oleh seniman Melayu (baik pengukir kayu, metal, batu, maupun perupa pada lukisan dan kain) merupakan wujud kekaguman mereka atas penciptaan alam yang sedemikian indah. Dengan inilah mereka mengungapkan rasa syukur yang mendalam kepada Allah SWT.
Falsafah seni ini dipupuk dengan selalu mempertahankan seni ornamentasi kedaerahan, bahwa aneka tumbuhan indah diciptakan untuk menghiasi bumi manusia yang ditandai dengan adanya unsur kehidupan didalamnya. Oleh karena itu, ornamentasi hasil olahan tumbuhan khas daerah menjadi simbol kedaerahan, yang dipadukan dengan konsep rasa syukur (gratitude). Inilah wujud apresiasi sebagian seniman Islam, khususnya Melayu.
Ornamen Melayu hanyalah bagian terkecil dari kesenian Melayu, yang dimulai sejak zaman Megalitikum. Setelah orang Melayu memeluk agama Islam, mereka menyesuaikan tradisinya dengan budaya dan peradaban Islam yang dibawa oleh pedangang-pedagang asing melalui lintas laut. Hatta,tertulislah sebuah pepatah Melayu, “adat bersendi hukum (syara’), syara, bersendi Kitabullah”. Inilah cikal-bakal ukiran Melayu pada umumnya bersifat foliage (rangkaian daun dan bunga/tetumbuhan).
Banyak dari mereka berprofesi sebagai pemahat patung, pengukir kayu, seperti yang kita temukan pada biara Padang Lawas, candi-candi Muara Takus, maupun peninggalan sisa patung dan biara di Palembang, jambi, dan Kota Cina (Labuhan Deli, Medan Sumatera Utara), atauppun kaligrafi pada batu nisan raja dan orang-orang terkemuka, pada beberapa masjid dan mimbar, rumah, bahkan senjata-senjata.
Istana raja terbuat dari kayu yang diukir dengan khasnya sendiri, memakai tabir layar tinggi, papan tabir layar melengkung, adang tabir layar dan dinding yang tambal dengan papan tipis.
Istana selalu dihias dengan papan yang diukir halus, ditebuk pada dinding bagian luar yang diaplikasikan pada pintu, jendela, lubang angin, dan perhiasan. Selain itu, banyak juga ayat-ayat al-Quran diukir pada bagian pintu bagian dalam menuju ruangan kamar. Pada umumnya, istana memiliki banyak tiang, susran, dan penyangga tangga yang berukiran relief.
Sebagaimana kita ketahui, semua aspek bangunan baik interior maupun eksterior, perabotan, dan aksesoris ruangan diukir dengan ukiran ornamentasi. Ornamentasi tersebut diilhami dari dedaunan, bunga, tumbuhan setempat, atau imajinasi dari binatang yang dianggsp sakral atau memiliki keindahan, seperti itik, ketam (kerang), burung kenari, dan sebagainya.
Rupa manusia tidak menjadi unsur dalam seni Melayu ini, sebab Agama Islam telah melarang hal itu. Secara parsial, falsafah hidup orang Melayu—bahkan terhadap seni yang satu ini—bahwa “orang Melayu adalah beragama Islam, berbahasa Melayu setiap hari, dan beradat-istiadat Melayu.”
Karena orang Melayu pada umumnya tinggal di pesisir pantai Selat Melaka dan Laut Cina Selatan, yang merupakan lalulintas utama dari Barat ke Timur sejak zaman purbakala, maka banyak juga ornamen Melayu yang dipengaruhi oleh berbagai bangsa. Sebab, mereka tinggal di sepanjang pantai dan muara sungai, tepi sungai, dengan pasang-surutnya. Inilah yang menyebabkan rumah mereka bertiang-tinggi, dan banyak lubang angin berfungsi sebagai ventilasi agar udara di sekitar ruangan menjadi segar. Walau angin bertiup kencang dan suasana tropis, tinggal di tempat seperti ini panas juga.
Kayu untuk rumah dan peralatan yang diukir sedemikian indah terbuat dari kayu yang tahan lama dan tahan air.
Rumah Melayu adalah untuk tempat tinggal suatu unit terkecil sosial (keluarga) yang terbagi beberapa ruangan, seperti ruangan tamu, ruangan keluarga, kamar tidur, loteng, dan dapur. Adapun loteng yang disebut “Para” dijadikan sebagai ruangan/kamar anak-anak gadis.
Untuk mendirikan rumah atau bangunan di desa Melayu selalu dilakukan secara gotong-royong. Hal ini telah menjadi tradisi di kampung-kampung. Apalagi ketika masa panen telah tiba, pesta adat dan keluarga, memasuki rumah baru, kelahiran anak, dan sebagainya. Ketika acara ini, tak pelak lagi bahwa berbagai peralatan atau perabot yang berornamentasi khas sangat mudah ditemukan. Aha.... tepung tawar dan kenduri telah menjadi tradisi yang tak terlewatkan. Setelah bagian inti itu, acara pun ditutup dengan pembacaan doa selamat.
Satu yang tidak boleh kita lupakan, kain tenunan telah menjadi budaya tersendiri pada beberapa etnis di Indonesia. Begitu juga Melayu. Kain tenun Melayu pada zaman dahulu berhiaskan ornamentasi sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya. Dan untuk pewarnaan, dapat diperoleh dengna mudah dari tetumbuhan sekelilingnya, kemudian diolah secara sederhana. Kunyit, kulit kayu, dan sebagainya.
0 komentar:
Posting Komentar