Kata “Tuhan” adalah istilah yang menyimbolkan Wujud Mutlak, Sempurna, Hidup, dan Berdiri Sendiri, hanya kepada Allah Rabbul ‘Alamin semua wujud nisbi bergantung. Allah adalah Rabb, Maha Manajer Kehidupan, Yang Menyediakan semua rezeki sebagai fasilitas bagi seluruh manusia, dan yang Maha Mampu Membentuk (al-Mushawwir) lewat sunnatullah-Nya.
Allah adalah Tuhan/ Ilah yang—mau tak mau—seluruh makhluk harus menyembahnya, memujinya. Dia adalah Tuhan yang memberi sanksi, pidana, dosa dan pahala, tempat berlindung serta harapan ampunan dan pertolongan.
Allah adalah subjek satu-satunya yang tak pernah dapat diobjekkan. Bagaimana akal yang super jenius dapat memberikan gambaran bentuk zat-Nya, sementara Dia yang menciptakan akal. Maka dari itu, Allah tak dapat dilihat, dikenal, dicari, dibayangkan, ataupun dinyatakan. Tak kan ada pola yang nisbi bagi-Nya di alam ini.
Allah selalu luput dari verba pasif makhluk-Nya.
Adapun seni, merupakan manifestasi keindahan yang lahir melalui kreativitas sadar manusia. Produk keindahan yang tak disadari tidak dinamakan berseni.
Adapun hakikat keindahan adalah manifestasi sifat Jamaliyah Allah yang imanen dalam setiap wujud ciptaan-Nya. Segala sesuatu tampil dalam keindahan yang unik. Seperti inilah Allah Yang Maha Indah dalam mencipta dan mencinta keindahan.
Boleh jadi keindahan yang dimaksud disini tidak terbatas. Akan halnya perdamaian, suka cita, alam nan elok, lukisan/rupa yang begitu mengagumkan, dan segala yang mencitrakan energi positif.
Hakikat keindahan Allah adalah manifestasi sifat Jamaliyah Allah tak terbatas, dan memiliki energi positif bagi manusia.
Meskipun seni bersifat subjektif, seni memiliki nilai universal sehingga dapat diamati dan direspon oleh segenap manusia yang berbeda etnis dan background kehidupannya. Karena corak seni dan mekanismenya berada di alam kehidupan yang melibatkan semua bangsa. Belum tentu menurut orang indahnya suatu objek adalah indah bagi dirinya sendiri.
Seni juga memiliki daya untuk menggerakkan semangat manusia, membakar amarah, membuai hati ke alam nyata yang tak berwujud dan mampu melenakan. Oleh karenanya, sebagian orang mengharamkan seni, sebab seni mampu “menyihir” siapa saja tanpa pertimbangan baik dan buruknya. Untuk itulah mengapa kita memilah milih mana saja seni yang memberikan maslahat, dan yang mudharat untuk ditinggalkan.
Inilah yang dimaksud bahwa seni itu bebas nilai, tergantung bagaimana kita mengemas dan meletakkannya pada koridor tertentu.
Karena seni itu bebas nilai, maka Allah Rabbul ‘Alamin memberikan rambu-rambu kehidupan bagi manusia walaupun tidak ada nahs al-Quran dan Hadits. Cukup dengan hujjah, bahwa seni yang membawa maslahat bagi budaya dan eksistensi manusia tanpa nilai jorok dan negatif lah yang diperbolehkan.
Disamping membawa maslahat, patut kita sadari peranan seni tidak pernah lepas dari agama. Seni selalu dikendarai oleh agama dan filsafat untuk mengarahkan gaya hidup manusia agar berbudi dan luhur. Salah satu contohnya adalah penyebaran agama Islam melalui tradisi wayang oleh Sunan Kalijaga terhadap orang Jawa beberapa abad lalu. Beliau menyusupkan nilai-nilai ketuhanan, keteladanan dan akhlak melalui seni ini, agar masyarakat Hindu pada waktu itu memiliki kesadaran untuk konversi ke agama Islam.
Contoh lainnya adalah kisah perwayangan Mahabrata, Ramayana, yang diakui oleh umat Hindu mengandung ajaran agamanya. Teater Yunani, Opera, patung-patung di Gereja dan Vihara, nyanyian suci, tarian sufi, tarian bangsa Inca dan Maya, Matsnawi Rumi, Qasidah dan Qiraat al-Quran adalah contoh-contoh lainnya.
Seni sebagai mediasi dalam menyampaikan ajaran agama.
Sekarang, saya tanya Anda. Apakah Allah itu Maha Seni? Tentu Ia Maha Seni. Allah telah memberikan sinyalemen ini dalam al-Quran dengan nama-Nya yang agung, al-Mushawwir al-Kholiq. Jadi, seninya Allah itu adalah “Seni Abadi”—sebagaimana yang telah dipaparkan diatas—yang telah berhasil menjadi ujung tombak ajaran tauhid.
Jika kita museumkan ideologi agung ini, kita harus siap dengan penggantinya yang memadai buat selera zaman. Namun, satu hal yang mesti kita camkan; tiada keabadian dalam hasil kreativitas seni tanpa konsep akurat yang melatarbelakanginya.
Kretivitas positif yang dihasilkan para seniman seharusnya membawa misi maslahat, dan kemaslahatan yang terkandung itu merupakan amal saleh yang tak diragukan lagi nilainya. Tapi, amal saleh—kreativitas, atau yang biasa disebut dengan perbuatan baik—dalam pandangan akal manusia belum tentu dapat sampai ke hadirat Ilahi tanpa ruh, dan ruh seni itu adalah ikhlas.
Meskipun ikhlas telah memberikan sayap kepada amal saleh untuk terbang kepada hadratullah, ia belum mendapatkan tanggapan yang berupa balasan (jaza’) dari Rabbul ‘Alamin kalau tanpa kiblat. Dan kiblat amal saleh adalah mardhotillah.
Dengan ideologi berseni ini, maka sampailah kita di kalbu agama yang disebut dengan Samudera Tauhid. Sungguh, sangat nikmat dan elok melihat keagungan dan keindahan ciptaan Allah. Dan dengan inilah maka Allah dapat dibuktikan bahwa Dia ada dengan ketiadaannya (wujuduhu ka’adamihi).
Wallahu a’lam bisshowwab.
0 komentar:
Posting Komentar