Ekspresi, berasal dari kata expression (Eng), yang secara bahasa berarti ungkapan, perasaan, penuturan tentang suatu objek. Ekspresionisme adalah gaya seni yang mengutamakan rasa emosi. Ekspresionistik adalah bersifat gaya seni yang mengutamakan rasa seni. Kalau seni yang diungkapkan dengan penuh perasaan, disebut dengan ekspresif.
Dari perspektif psikologi pendidikan, ekspresi atas suatu objek ini hampir mendekati konsep valuing menurut Taksonomi Bloom. Menurut Doughlas a. Bernstein & Peggy W. Nash dalam bukunya Escencial of Psycholgy, (New York: Houghton Mifflin Company, 1999), h. 235, valuing yang dimaksud dalam tulisan sederhana ini dapat diartikan dengan suatu dimensi minat (kecenderungan) terhadap suatu objek. Minat terhadap kaligrafi, baik mempelajarinya, menyukainya, masuk dalam kategori minat secara khusus. Sementara valuing yang dimaksud disini bisa jadi mencakup keyakinan dan falsafah hidup seorang kaligrafer.
Maksudnya, bahwa kaligrafi mampu mendekatkan seorang hamba dengan ajaran ilahiah yang dimanifestasikan melalui senantiasa latihan, yaitu menggoreskan pena diatas kertas agar menghasilkan tulisan indah sebagai wujud emosi seorang khattat yang didukung penuh atas ajaran Islam. Jadi, kaligrafi merupakan salah satu media pendekatan kepada Allah, sedangkan minat boleh jadi motorik emosionalnya.
Uniknya, ekspresi terhadap berseni kaligrafi para khattath terdahulu dituangkan dalam cawan syair-syair yang tiap-tiap baitnya dapat membuat mabuk sang khattath, sehingga terus dan terus latihan terus menerus. Oleh karenanya tidak berlebihan jika penulis katakan kepada ManiaGorez, bahwa kesenangan terhadap kaligrafi merupakan ekstasi tersendiri, jika sehari tidak memasuki dunia kaligrafi, jiwanya seakan merasakan ada suatu yang kurang dan belum terpenuhi. Jiwanya ingin kembali mengecap manisnya kaligrafi walau barang sekejap.
Seheboh itukah?
Hamid Abu al-A’la dalam syairnya yang berjudul Huzn al-Khat Min Asma al-Funun (Kaligrafi Adalah Seni Yang Paling Unggul) dalam kitabnya Nas’at wa Thatawwur al-Kitabat al-Khattiyyah dalam tulisan Fauzi Salim Afifi mengutip dari Makin, mengekspresikan kaligrafi sebagai suatu keyakinan dan falsafah hidup. Simak bait-baitnya sebagai berikut:
“Aku telah meminum seni dari mata air yang paling manis, dan kaligrafi adalah seni yang tertinggi”
“Eloknya tulisan adalah bersinarnya tiap hati, enaknya badan, dan nikmatnya mata”
“Indahnya tulisan bagi orang-orang fasih bak mahkota bersinar,
karena kecantikannya di atas batok kepala”
“kaligrafi adalah ucapan dimana huruf kaf berbangga,
dimana Allah telah menitahkan dari huruf kaf dan nun”
“Dan telah kuperindah tulisan, supaya bagus para makhluk sepanjang hari ayat-ayat seni”
”Telah kutulis sebuah mushaf mahal dengan khat naskhi yang diukir dengan tangan kanan”
“Hafiz Usman telah mengangkat kaligrafi ini dalam seninya yang menyinari,
laksna mentari pagi hari yang benderang”
“Mukjizat menambahkan keindahan atas malam-malam, tiap waktu dan masa”
“Antusiasku pada khat ketika usiaku 10 tahun, dan menjadi kecenderungan
dan esok menjadi keyakinanku”
“Mata di depannya menjadi bingung,
adakah yang terlihat sekelompok pengendara ataukah penyebar agama?”
“Dengan kaligrafi kehidupan berlalu dengan cepat, maka kaligrafi berada di bagian depan perahu itu”
“Dengan kaligrafi kuarungi lautan ilmu, dengan seni ucapan berpagarkan hiasan nan manis”
“Esok, perbendaharaanku yang amat berharga,
tanganku banyak berhias permata, gedung yang mahal harganya”[3]
Syair diatas seolah-olah menjadikan kaligrafi sebagai kecenderungan jiwa yang tiada habisnya, sebab begitu kuatnya keyakinan itu dilandasi dengan ajaran al-Quran dengan mukjizatnya yang teragung. Hal senada didukung kuat oleh Hamid Abu al-A’la dalam syairnya yang begitu mencintai kaligafi, dan tertanam kuat di jiwanya. Ia berkata:
“Ghirahku pada kaligrafi bagaikan dilukai musuh, dan kan kutebus dengan jiwa dan tangisan”
“Kepayanganku pada kaligrafi seakan-akan daku bagai Kais Laila,
namun bukan pula karena kerasukan jin atau pun sakit ingatan”
“Dan kujaga sepenuh hatiku kesucian kaligrafi, untuk kekuatan dan kesucian yang terjaga”
“Hai orang yang berilmu, sesungguhnya khat adalah seni tersendiri bagai sesuatu yang diikat dalam bui”
“Kapan semuanya sepi darinya, hingga kita dapat melihatnya dengan suasana hati yang asih”
“Ketika engkau menghendaki kesuksesan bagusnya tulisan dan martabat di alam ini, maka berhiaslah”
“Pilihlah tiga hal, berpedomanlah pada tiga hal ini,
karena ketiganya adalah dasar tertentu kilau dan indahnya tulisan”
“Yaitu tulisan, tulisan yang tepat, dan keindahan,
ketiga hal ini bersatu maka mata akan senang memandang”
“Gajah mati meninggalkan gading, manusia mati meninggalkan nama, dan kaligrafi yang indah menjadi penolog di hari kiamat”. Inilah ungkapan atau ekspresi emosi Abu al-A’la dalam syairnya sebagai berikut:
“Tulisan tetap indah setelah ditulis, sementara penulis kaligrafi telah terkubur di bumi”
“Sebutan yang baik selalu lalu terngiang setelah mengkreasikannya,
dan abadinya diiringi nama baik sekaligus puji sanjungan”
“Tiada hari dari seorang penulis kecuali akan musnah,
dan sesuatu yang ditulis dengan tangannya akan abadi sepanjang masa”
“Maka janganlah engkau tulis khatmu,
kecuali sesuatu yang menggembirakanmu ketika engkau melihatnya di hari kiamat”
“Maka semua amal Perbuatan manusia akan ditemuinya esok hari,
ketika bertemu dengan tulisan yang digelar”
“Bergembiralah! Karena cukup bagimu, jari-jari itu menulis”
Demikianlah bait-bait syair yang telah diungkapkan seorang khattat yang merindukan kecintaan kaligrafi, dengan keyakinan kuat bahwa mempelajari kaligrafi senantiasa menambah kecintaannya kepada al-Quran atau ajaran Islam. Allah memandang itu sebagai amal ibadah yang dinilai dengan pahala sebagaimana kita membaca al-Quran. Jadi, keyakinan untuk memperindah tulisan ayat-ayat al-Quran merupakan stimulus akhir tahap ketiga yang kuat terhadap minat atau kecintaan pada kaligrafi al-Quran.
Referensi utama: Nurul Makin, Kapita Selekta Kaligrafi
,/span>