Seorang anak yang telah diklaim menggoreskan sejarah (seni) Islam telah lahir pada tahu 272 H, di Baghdad. Al-Wazir Abu Ali al-Shadr Muhammad bin al-Hasan ibnu Muqlah, yang digelari ‘Si Biji Anak Mata’.Sebenarnya Muqlah adalah nama bapaknya, dengan tradisi Arab memanggil seorang anak dengan ‘anak si fulan’, maka dipanggillah ia dengan Ibnu Muqlah. Namun, kasih sayang sang kakek kepadanya berlebihan, ia selalu dipanggil dengan sebutan “ ya muqlata abiihaa!” (wahai biji mata ayahnya).
Ia seorang jenius, menguasai ilmu dasar geometri membawa berkah dengan sematan “Imam Khatthathin” (Bapak para kaligrafer) baginya. Inilah akar utama penemuan kaligrafi cursif.
Ibnu Muqlah bekerja di bebearapa kantor pemerintahan dengan menyumbangkan keahliannya di berbagai bidang ilmu, termasuk kaligrafi. Dengan kekhasannya itulah karirnya menanjak tajam dengan menjadi salah satu wazir untuk tiga orang khalifah Abbasiyyah, antara lain khalifah Muqtadir, al-Qahir, al-Radi. Berkat keuletan dan hubungan sosial dengan sesama pejabat lain, ia menjadi orang yang terpandang.
Agaknya sudah menjadi tradisi jika seorang pejabat ternama dan memiliki kredibilitas yang baik, mengalami banyak tekanan dari berbagai oknum yang curang dalam sistem pemerintahan. Begitu juga yang dialami oleh Ibnu Muqlah. Berbagai intrik kecurangan dalam sistem pemerintahan mengakibatkan dia mengalami penindasan yang sangat sadis. Penganiayaan tepatnya.
Ibnu Muqlah pada mulanya bekerja sebagai pemungut pajak pemerintah sekaligus mengatur anggaran pengeluarannya. Hingga keadaan membalik ketika ia mejabat sebagai pejabat bawaan al-Imami al-Muqtadi Billah pada 316H. Ia difitnah oelh musunya dan hartanya disita, sementara ia dibuang ke Persia. Namun pada akhirnya ia malah menjadi pembantu al-Radi, maka musuhnya kembali mencemarkan anama baiknya hingga ia ditangkap lagi dan dicopot dari jabatan kementrian.
Ia mencoba mendekati Ibnu Raiq, perdana menteri di Baghdad, seorang pejabat dibawah khalifah yang naif itu. Namun, khalifah tidak bisa menutup-nutupi rahasianya bahkan membusukkan namanya di hadapan Ibnu Raiq. Maka ditangkaplah Ibnu Muqlah dan dipotong tangannya.
Akhirnya al-Radi pun menyesal atas sikapnya sendiri dan menyuruh para dokter untuk mengobati luka tangannya yang buntung hingga pulih.
Dalam keadaan seperti itu, Ibnu Muqlah menggoreskan pena dengan tangan kanannya. Tradisi menulis dan akademis terus dijalaninya sebagaimana biasa. Namun, Ibnu Raiq sadar akan sikap baiknya, bahwa tindakan welas asihnya itu membuat Ibnu Muqlah dapat menyaingi kekuasaannya kembali, ketika Ibnu Muqlah memohon kepadanya untuk duduk kembali di kementrian.
Kesadisan Ibnu Muqlah kumat lagi, dengan memerintahkan kepada anak buahnya untuk menangkap Ibnu Muqlah, memotong lidahnya, dan memenjarakannya hingga akhir hayat pada tahun 328 H/ 940 M. Ia dikuburkan di rumah sultan.
Mendengar kejadian itu, keluarganay menuntut pada kerajaan agar jenazahnya dikembalikan kepada keluarga, dan permintaan itu dipenuhi.
Segala kepedihan Ibnu Muqlah telah digoreskan dalam tiap-tiap bait syairnya, dengan artinya sebagai berikut:
Pabila setengahnya hapus nyawa, Menagislah sisanya
Sebab satu sama lain, Akrab senantiasa
Bukan ku tlah muak hidup di dunia
Tapi, terlanjur dipercaya sumpah mereka
Maka, cerailah tangan kananku tercinta
Kujual kepada mereka agamaku
Dengan duniaku
Namun, mereka halau aku dari dunia mereka
Setelah mereka gasak agamaku
Kugoreskan kalam sekuat upayaku
Tuk melindungi nafas-nafas mereka
Duhai malangnya… Bukannya mereka melindungiku!
Tiada nikmat dalam hidup ini
Sesudah senjata tangan kananku pergi tiada arti
Duh, hayatku nan malang
Tangan kananku tla hilang
Hilanglah, segala arti tergusur hilang.
Dengan pengorbanan yang besar, Ibnu Muqlah berhasil menggoreskan sejarah tertinggi yang besar nan suci yang tak pernah hilang dari peradaban manusia. Khususnya peradaban tulis-menulis kaligrafi di kalangan kaligrafer dunia. Kita pantas mendoakan beliau sebelum mulai belajar kaligrafi.
Keberhasilan Ibnu Muqlah dalam merumuskan desain kursif kaligrafi murni diakui sangat bagus secara teoritis bahkan praktek, pada masa itu hingga sekarang. Hingga, dalam waktu singkat mampu menggeser popularitas khat Kufi yang telah lama mengakar dalam peradaban masa itu (sebelum 328 H/ 940 M).
Tidak itu saja, demi menjaga kesempurnaan dan elektibilitas karya kaligrafi, seorang kaligrafer hendaknya memenuhi 4 husnul wadh’i (susunan yang baik) dan 5 kriteria penulisan yang sempurna sebagai dasar penulisan kaidah kaligrafi. Simak tulisan selanjutnya disini